Ayun, mengayun

Ibadah pertama hari itu telah usai, panjatan doa yang entah apa diharapkan olehnya; terbata. Mulutnya yang beberapa kali menguap, sepanjang perjalanan khawatir stasiun tujuannya terlewat. Tertidur beberapa saat dan kembali terjaga. Terlihat matanya yang mulai berkaca-kaca, bukan karena kantuk namun waktu terus berjalan. 

Keluar seperti biasa ingin menyendiri di pagi buta, berjalan menyusuri setapak. Apa yang kali ini ku temukan? Menengok pintu keluar, seorang wanita sudah menunggu didepan pagar; menghampiri.

“Sedang apa disini?”

“Menunggumu.”

“Aku pulang setelah ini.”

“Biasanya kamu pun berucap demikian, namun pergi hingga mentari mulai menyingsing.”

“Tidak apa kan?”

“Boleh aku ikut?”

“Sudah subuh?”

“Hm’mh.”

Menanjak, menurun, menyebrang jalan, berkelok-kelok kanan dan kiri, memasukki jalan tikus, menembus wilayah tidak terkenalkan oleh si pria. Wajah yang tetap tenang, jalan pulang dapat dengan mudah dicari selama kamu merindunya dan ingin pulang pikirnya.

Sebuah taman sepi karena masih terlalu dini bagi sebagian lain. Beberapa memulai aktivitasnya mendorong gerobak, mengayuh becak, angkutan umum lalu lalang membawa belanjaan pasar. Dua pasang kaki menuju area permainan yang tersedia; ayunan terpilih.

Mengayun dengan lamban, terhenti kemudian. Dalam keraguan yang mendalam, hal-hal tidak perlu terbahas hingga kemudian menjurus pada yang dinanti-nantikan.

“Jadi besok ya?”

“Iya.”

“Kamu tidak apa?”

“Hm’mh.”

“Cincin kita?”

“Kusimpan, hanya tidak sedang ingin menyinggungmu.”

“Kau harus bahagia, setidaknya mencoba.”

“Aku mencobanya.”

“Aku ikut bahagia.”

“Terimakasih sudah mau datang dan mengantarku hingga tahap ini.”

“Tidak masalah, lagipula aku pahlawan yang datang dan pergi begitu saja.”

Leave a comment